Search here

Google

Kategori Artikel

Senin, 22 Oktober 2007

Tips Memilih KTA

Bijaksana Memilih Kredit tanpa Agunan

PADA masa sulit akhir-akhir ini, kredit tanpa agunan (KTA) banyak dilirik masyarakat. Embel-embel tanpa agunan menjadi magnet debitur untuk menggaet nasabahnya seolah-olah produk ini pro-rakyat miskin, atau menjadi alternatif permodalan bagi pengusaha kelas bawah yang tidak punya agunan atau jaminan.

Akan tetapi, dalam beberapa hal, produk ini patut diwaspadai, apalagi jika yang mengeluarkan produk itu bukan (non) perbankan. Bila terjadi kemacetan angsuran, calon nasabah bisa terbelit utang dengan bunga yang teramat mencekik seperti rentenir. Ujung-ujungnya nasabah/kreditur jadi korban bulan-bulanan penagih. Bukan mustahil pula terjadi adu fisik antara penagih dan kreditur.

Akhir-akhir ini lembaga non-perbankan sering mempromosikan dirinya menjadi lembaga kredit tanpa agunan yang mudah dan dananya bisa cair dalam tempo singkat yakni 3 hari saja. Paling lama 1 minggu. Syarat yang mesti disediakan tentu saja mudah yakni KTP suami istri, KK, rekening listrik/telepon, PBB dan rekening tabungan di bank. Jumlah kredit yang bisa diperoleh mulai Rp 1 juta hingga Rp 10 juta.

Tentu saja masyarakat (terutama yang berpola hidup konsumtif) langsung tergiur. Mereka menyediakan persyaratan itu kemudian diminta datang ke kantor KTA yang bersangkutan. Setelah mengisi dan menandatangani formulir, calon kreditur diharuskan membayar uang administrasi antara Rp 35.000 sampai dengan Rp 50.000.

Jika ternyata kreditnya ditolak, uang administrasi ini memang bisa diambil kembali namun setelah dipotong ongkos survei Rp 15.000,00. Jadi, biaya survei ke rumah calon nasabah ditanggung sendiri oleh calon nasabah. Pengusaha KTA sama sekali tidak mengeluarkan biaya operasional. Dari satu segi ini saja calon nasabah sudah dirugikan.

Jika calon nasabah membayar Rp 35.000,00 maka yang dikembalikan Rp 20.000,00. Sisa uang itu harus diambil sendiri oleh calon nasabah dan tidak bisa diwakilkan. Tentu saja, bagi calon nasabah yang bertempat tinggal jauh dari kantor KTA, sisa uang administrasi itu malas diambil karena habis dipakai ongkos bolak-balik.

Padahal, jika tidak diambil dalam waktu sebulan, sisa uang administrasi itu hangus alias menjadi milik pengusaha KTA non-perbankan itu. Artinya, sisa uang administrasi merupakan peluang keuntungan bagi pengusaha KTA. Jumlahnya bukan mustahil melimpah, karena masyarakat calon nasabah yang mengajukan KTA tentu saja tidak sedikit. Sampai tahap ini saja, pengusaha KTA sudah memperoleh untung dua kali. Padahal proses KTA baru tahap awal yang sangat prematur.

Kalau pun nanti KTA disetujui, pengusaha KTA sudah memotong angsuran pertama pada saat uang KTA dicairkan. Inilah kerugian yang ketiga bagi nasabah. Karena, pengusaha KTA bukan saja sudah memperoleh kembali uang pokok pinjaman melainkan juga bunganya sekaligus. Padahal tenor angsuran paling lama 6 bulan. Artinya, nasabah masih mencicil 5 kali lagi dengan bunga yang sangat mencekik yakni antara 8 hingga 10 persen per bulan!

Per enam bulan, nasabah dikenakan bunga 60 persen! Jika pinjam Rp 5 juta maka uang yang harus dikembalikan Rp 8 juta, bahkan ada yang hampir Rp 9 juta. Padahal uang kredit yang diterima nasabah tidak utuh Rp 5 juta melainkan hanya Rp 4 juta karena sudah dipotong angsuran pertama (pokok+bunga). Ini adalah tindakan nyata rentenir.

**

TINGGINYA bunga dan sempitnya masa tenor, dijadikan dalih oleh para pengusaha KTA non-perbankan sebagai tindakan penyelamatan modal. Jika terjadi kemacetan angsuran maka pengusaha KTA tidak terlampau dirugikan. Dalih pengusaha yang paling jitu adalah : KTA rawan macet dan tanpa agunan, sehingga jika macet, tidak ada harta nasabah yang patut disita.

Akan tetapi, kenapa saat ini banyak lembaga non-perbankan yang beralih menjadi pengusaha KTA? Jika tidak menguntungkan, tentu saja tak mungkin mereka tumbuh dan ada di beberapa tempat serta mempromosikan diri terus menerus di media massa.

Pengusaha KTA non-perbankan ada yang berkedok sebagai pengusaha kredit elektronik dan emas. Nasabah yang akan mengajukan KTA, di-"plesetkan" seolah-olah membeli barang elektronik atau emas yang dijual kembali kepada pengusaha KTA tersebut.

Jadi, transaksinya dalam bentuk barang, sedangkan yang diterima berbentuk uang. Dari segi hukum formal, tentu saja pengusaha KTA tidak akan bisa diusut dengan menggunakan KUHP. Mereka aman.

Selain itu ada pula pengusaha yang terang-terangan membuka KTA dengan transaksi langsung dalam bentuk uang. Bunganya diturunkan sedikit, yakni tidak 8 sampai 10%/bulan melainkan "hanya" 6%/bulan. Akan tetapi, calon nasabah diharuskan membayar biaya administrasi yang agak tinggi yakni Rp 100.000,00 dan membayar angsuran pertama!. Jadi, sebelum transaksi KTA disetujui, nasabah justru harus menyetor angsuran pertama ke perusahaan KTA dengan dalih sebagai jaminan.

Uang administrasi dan angsuran pertama itu, konon sebagai jaminan kredibilitas nasabah. Uang ini bisa diambil kembali oleh nasabah jika KTA-nya tidak disetujui. Contoh, jika nasabah mengajukan KTA Rp 10 juta, maka ia terlebih dahulu harus menyetor angsuran pertama Rp 1,2 juta dan Rp 100.000,00. Uang ini akan mengendap sekurang-kurangnya 10 hari pada rekening pengusaha KTA yang tentu saja bisa menghasilkan keuntungan. Apalagi jika pengusaha itu mendapat fasilitas bunga harian dari bank tempatnya membuka rekening.

Dalam kondisi perekonomian Indonesia yang masih amburadul di tingkat menengah ke bawah sekarang ini, niat masyarakat mengambil kredit tanpa agunan tentu saja besar. Umumnya, mereka tidak terlampau memperhitungkan risiko sebagaimana dituturkan di atas, terutama sangat tingginya suku bunga. Yang penting, mereka dapat uang pinjaman untuk kelangsungan hidup sehari-hari.

Itulah sebabnya, mengambil KTA (apalagi non-perbankan) haruslah ditempuh dengan sebijaksana mungkin. Pertama, hendaknya tidak mengambil dalam jumlah tinggi, maksimal Rp 5 juta agar angsurannya tidak terlampau berat. Kedua, gunakan untuk keperluan yang amat mendesak. Ketiga, jika ingin dipakai untuk modal usaha hendaknya benar-benar diperhitungkan dengan usaha yang akan dilakukan.

Beralasan sebab dengan bunga KTA 8 sampai 10 persen per bulan, berarti harus ada usaha yang menghasilkan bunga sekurang-kurangnya 12% per bulan. Jangankan masa sekarang, zaman Orde Baru pun rasanya sangat sulit membuka usaha dengan keuntungan sebesar itu per bulan. Jadi, kalau tidak perlu sekali, lebih baik jangan mengambil KTA. (Dadang Bainur)

Tidak ada komentar: