Search here

Google

Kategori Artikel

Selasa, 23 Oktober 2007

Bila sang 'dokter' krisis digugat pasiennya

Pamor Dana Moneter Internasional (IMF) semakin dipertanyakan negara anggotanya dalam pertemuan tahunan lembaga itu dan Bank Dunia di Washington, Amerika Serikat.

Betapa tidak. Setelah satu dekade lalu gagal mengatasi krisis keuangan yang melanda hampir seluruh kawasan Asia, IMF lagi-lagi dituding mengulangi kinerja yang sama dengan kondisi pada 1997-1998.

Brasil dan Argentina, misalnya, tampil sebagai negara anggota yang paling vokal menuduh kegagalan lembaga keuangan internasional itu. Apalagi IMF dinilai gagal memperkirakan kejatuhan ekonomi global akibat pasar subprime mortgage AS beberapa waktu lalu.

Kali ini, menteri keuangan Brasil dan Argentina mendesak IMF melakukan pengawasan yang sama terhadap perekonomian negara-negara kaya. Ini sama halnya dengan yang dilakukan IMF terhadap negara-negara berkembang.

Imbauan untuk mendapatkan perlakuan yang sama juga dilontarkan oleh Grup 24. Kelompok ini merupakan kumpulan pejabat dari negara-negara berkembang, antara lain Suriah, Pantai Gading, Mesir, Ethiopia, Afrika Selatan, India, Iran, Lebanon, Pakistan, Filipina, dan Sri Lanka.

Mereka menuding lembaga keuangan internasional itu hanya mendukung kepentingan negara maju dan mengabaikan negara kecil serta negara berkembang. Bagi IMF, kepentingan negara maju, seperti AS dan Eropa, di atas segala-galanya dibandingkan dengan negara berkembang, seperti Indonesia. Nasib negara kecil dan negara berkembang itu akan semakin parah jika mereka maju sendiri, tanpa berkelompok.

Kondisi ini dinilai sebagai masalah terbesar di era globalisasi. Saat ini, sesungguhnya tidak ada tata kelola global yang memantau pihak bersalah atau sebaliknya.

"Negara-negara dengan sistem pemerintahan, standar, dan peraturan keuangan yang bagus justru merupakan pihak yang menghadapi masalah paling serius terhadap kerapuhan finansial yang dapat menimbulkan risiko terhadap kesejahteraan ekonomi dunia," ujar Menkeu Brasil Guido Mantega pada pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia seperti dikutip Bloomberg.

Sementara itu, Menkeu Argentina Miguel Gustavo Peirano menuduh IMF menerapkan standar ganda. "IMF seharusnya menunjukkan antusiasme yang sama besar dalam mengevaluasi ekonomi negara maju, sama halnya dengan yang dilakukan pada pasar negara berkembang."

Bagi Argentina, kegagalan IMF terasa sejak beberapa waktu lalu. Senator sekaligus kandidat Presiden Argentina Cristina Fernandez de Kirchner pernah menyatakan negaranya akan melunasi utang gagal bayar kepada Paris Club tanpa bantuan IMF.

"Walaupun kami [Argentina] bersedia membayar utang sebesar US$6,5 miliar kepada Paris Club, kami tidak bersedia menerima IMF untuk memberikan persyaratan-persyaratan ekonomi tertentu," tegas Kirchner pada akhir bulan lalu.

Pada pertemuan akhir pekan lalu, menteri keuangan dan pejabat bank sentral dari Timur Tengah dan Asia juga menunjukkan ketidaksenangan mereka terhadap kondisi masa lalu saat AS dan IMF menginginkan pencairan pinjaman.

Dulu, IMF selalu menekankan penjualan aset, pemangkasan anggaran, dan penghapusan peraturan yang lebih besar sebelum dana pinjaman disalurkan untuk menopang mata uang dan sistem perbankan.

Ketidaksenangan negara-negara, seperti Brasil, Argentina, Uruguay, Bolivia, Ekuador, Venezuela, dan Para-guay terhadap sistem IMF tampak jelas, menyusul kesepakatan negara-negara itu membentuk Banco del Sur, yakni bank pembangunan independen pada bulan depan.

IMF dililit krisis

Tudingan yang menyangsikan kemampuan IMF semakin sejalan dengan laporan Standard & Poor's. Lembaga pemeringkat internasional ini melaporkan mengenai penyusutan cadangan modal yang dimiliki IMF.

Tak hanya itu. Laporan Standard & Poor's turut memperlihatkan keprihatinan.

Cadangan IMF mengalami penyusutan sekitar US$110 juta pada tahun anggaran lalu yang berakhir 30 April. Dengan tren ini, penyusutan cadangan tersebut diperkirakan meningkat pada tahun anggaran 2008.

Lengkaplah sudah kekhawatiran negara anggota terhadap kemampuan IMF membantu negara yang tengah mengalami kesulitan.

Wajar saja bila mereka bertanya, bagaimana mungkin IMF mau membantu negara anggota yang sedang kesulitan kalau ia sendiri tengah dililit krisis? Jadi, desakan yang lebih tepat kepada IMF adalah proposal untuk meredefinisi sistemnya.

Keraguan negara-negara berkembang tampaknya mencapai puncaknya pada pertemuan tahunan yang diselenggarakan IMF dan Bank Dunia, di Washington, AS, pada 20-22 Oktober 2007.

Apa strategi yang diterapkan IMF untuk memulihkan pamornya? Entahlah. Tetapi yang pasti, pada pengujung September 2007, IMF menunjuk Strauss-Kahn sebagai pengganti de Rato untuk masa jabatan lima tahun ke depan.

Setelah pengumuman penunjukannya, Strauss-Kahn menyatakan tekad kuat untuk sesegera mungkin melakukan reformasi di tubuh IMF. Reformasi itu dilaksanakan untuk menciptakan stabilitas keuangan, membantu komunitas internasional, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan ketenagakerjaan, terutama di negara-negara berkembang dan yang berpenghasilan rendah.

Penunjukan Strauss-Kahn yang mengalahkan mantan gubernur bank sentral Republik Ceska Josef Tosovsky itu juga dapat disimpulkan sebagai suatu indikasi bahwa IMF sedang mencari redefinisi peranannya dalam sebuah globalisasi dunia.

Tak bisa dipungkiri. Kondisi ini terbentuk oleh meningkatnya pengaruh negara-negara sedang berkembang seperti China, India, dan Brasil. Hal itu pun terlihat saat pencalonan Strauss-Kahn yang mengadakan perjalanan dalam upaya mencari dukungan ke berbagai negara a.l. di kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Kali ini, IMF butuh dukungan dari negara berkembang atau negara yang memiliki ekonomi menengah.

Tantangan utama yang bakal dihadapi Strauss-Kahn antara lain dia diwarisi tidak adanya peminjam dari IMF. Kondisi ini berbeda setelah institusi itu 'membantu' sejumlah negara yang dilanda krisis selama dekade 1990-an, seperti Indonesia, Korea Selatan, Rusia, Brasil, Argentina, dan Meksiko.

Saat ini, hampir semua negara tersebut membayar kembali utang mereka. Hal ini karena perekonomian negara-negara tersebut telah menguat.

Negara-negara itu saat ini juga lebih berhati-hati jika berhubungan dengan IMF yang kerap dituding melakukan malpraktik dalam mereformasi ekonomi suatu negara. Mampukah IMF meredefinisi sistem kerja mereka?

Kita tunggu saja hasil pertemuan puncak tersebut. (redaksi@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar: